Trump Minta Kepemilikan Lahan Pangkalan Militer AS di Korsel
Jakarta,
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali memunculkan pernyataan kontroversial terkait keberadaan pasukan dan pangkalan militer negaranya di Korea Selatan. Dalam pertemuan resmi dengan Presiden Korea Selatan, Lee Jae Myung, di Oval Office, Washington, Trump secara terbuka menyampaikan keinginannya agar lahan yang digunakan oleh militer AS di Korsel dapat dialihkan menjadi properti milik Amerika sepenuhnya. Ia berargumen bahwa negaranya sudah mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk membangun berbagai fasilitas pertahanan di kawasan tersebut, sehingga wajar apabila status penggunaan lahan tidak lagi sekadar pinjaman atau hibah, melainkan kepemilikan permanen.
Trump menyoroti khususnya keberadaan 28.500 personel militer AS yang saat ini ditempatkan di Korea Selatan sebagai bagian dari aliansi pertahanan kedua negara. Menurutnya, jumlah pasukan dan infrastruktur yang mendukung operasional mereka menuntut jaminan kepastian lebih besar atas tanah yang digunakan. Ia menilai, sistem yang berlaku sekarang, di mana Amerika hanya “meminjam” lahan dari Korea Selatan berdasarkan perjanjian, kurang memberikan rasa aman bagi Washington. Karena itu, Trump menyarankan agar mekanisme sewa atau hibah bisa diubah menjadi transfer kepemilikan penuh.
“Kami sudah mengeluarkan banyak uang untuk membangun benteng pertahanan di Korea Selatan. Memang benar ada kontribusi dari pihak Korsel, tetapi saya ingin tahu apakah memungkinkan untuk menghentikan skema sewa ini dan mengalihkan status lahan pangkalan militer besar kami menjadi milik Amerika,” ujar Trump, seperti dikutip kantor berita Yonhap pada Senin (25/8). Pernyataan ini ia lontarkan ketika menanggapi pertanyaan mengenai nasib puluhan ribu pasukan AS yang masih bertugas di Semenanjung Korea.
Saat ini, Amerika Serikat mengoperasikan sekitar 80 pangkalan militer di Korea Selatan. Salah satu yang paling penting adalah Camp Humphreys, sebuah kompleks militer raksasa yang terletak di bagian selatan ibu kota Seoul. Camp Humphreys bukan hanya pangkalan terbesar di Korea Selatan, tetapi juga tercatat sebagai fasilitas militer Amerika terbesar di luar negeri. Keberadaan pangkalan ini menunjukkan betapa pentingnya peran strategis Korsel dalam menjaga stabilitas keamanan kawasan Asia Timur.
Menanggapi gagasan Trump, Penasihat Keamanan Nasional Korea Selatan, Wi Sung Lac, memberikan klarifikasi tegas. Ia menjelaskan bahwa berdasarkan Perjanjian Status Angkatan Bersenjata atau Status of Forces Agreement (SOFA) antara AS dan Korsel, lahan yang digunakan oleh militer Amerika di negara tersebut bukanlah tanah sewaan. Sebaliknya, statusnya adalah hibah penggunaan, yang berarti pemerintah Korea Selatan memberikan izin kepada pasukan AS untuk memakai fasilitas dan wilayah tertentu hanya selama mereka ditempatkan di sana. Tidak ada unsur pembayaran sewa, dan tidak ada pula pengalihan kepemilikan permanen kepada Washington.
“Lahan yang digunakan oleh Pasukan AS di Korea adalah hibah, bukan sewa. Itu tidak diberikan sebagai imbalan uang sewa, dan sama sekali tidak berarti adanya pengalihan hak kepemilikan. Mekanismenya jelas, yaitu penggunaan sementara selama masa penempatan pasukan, sebagaimana diatur dalam SOFA,” ujar Wi Sung Lac, dikutip The Korea Herald. Ia menambahkan bahwa begitu fasilitas atau lahan tersebut tidak lagi dibutuhkan, maka secara otomatis harus dikembalikan ke pemerintah Korea Selatan.
Pasal II SOFA AS-Korsel memang secara eksplisit menyebutkan bahwa Korea Selatan “memberikan” tanah dan fasilitas kepada Amerika Serikat untuk kepentingan militer. Namun, frasa “memberikan” di sini bukan berarti menghibahkan kepemilikan penuh, melainkan sekadar memberi hak penggunaan terbatas yang bersifat sementara. Dengan kata lain, tanah tersebut tetap berada dalam kedaulatan Republik Korea, dan statusnya tidak pernah berpindah tangan.
SOFA sendiri merupakan instrumen hukum yang umum digunakan Amerika Serikat dengan banyak negara mitra di seluruh dunia. Perjanjian ini mengatur bagaimana status hukum pasukan militer asing di wilayah tuan rumah, termasuk soal yurisdiksi hukum, penggunaan lahan, hingga mekanisme pertanggungjawaban apabila terjadi pelanggaran. Namun, isi dan ketentuan tiap-tiap SOFA berbeda, disesuaikan dengan kondisi politik, keamanan, serta hubungan bilateral antara Amerika Serikat dengan negara mitra. Untuk kasus Korea Selatan, SOFA ditandatangani pertama kali pada 1966 dan telah beberapa kali diamendemen agar relevan dengan perkembangan zaman dan dinamika hubungan kedua negara.
Bagi Korea Selatan, keberadaan pasukan AS merupakan bagian penting dari strategi pertahanan, mengingat ancaman militer dari Korea Utara yang masih terus berlanjut. Namun, pada saat yang sama, isu kedaulatan atas tanah yang digunakan pasukan asing tetap menjadi hal sensitif di mata publik Korea. Pernyataan Trump mengenai kepemilikan permanen atas lahan pangkalan militer berpotensi menimbulkan perdebatan politik di Seoul, karena dapat dianggap sebagai bentuk intervensi terhadap kedaulatan nasional.
Secara keseluruhan, meski Trump mendorong agar status lahan diubah menjadi milik Amerika, pernyataan dari pejabat Korea Selatan menegaskan bahwa hal itu bertentangan dengan semangat SOFA. Perjanjian tersebut jelas dirancang untuk memastikan bahwa lahan militer tetap berada di bawah kedaulatan Korea, meskipun diberikan hak penggunaan sementara kepada pasukan AS. Dengan demikian, wacana Trump tampaknya sulit diwujudkan tanpa negosiasi baru yang kemungkinan besar akan menimbulkan resistensi politik dari pihak Korea Selatan.
(blq/sry)